• No results found

Kepastian hukum yang nyata di negara berkembang [Real Legal Certainty in Developing Countries]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2020

Share "Kepastian hukum yang nyata di negara berkembang [Real Legal Certainty in Developing Countries]"

Copied!
46
0
0

Loading.... (view fulltext now)

Full text

(1)

KAJIAN SOSIO-LEGAL

SERI UNSUR-UNSUR PENYUSUN BANGUNAN NEGARA HUKUM

Editor

(2)

Kajian sosio-legal/ Penulis: Sulistyowati Irianto dkk. –Ed.1. –Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012

xiv, 246 hlm. : 24x15.5 cm. ISBN 978-979-3790-95-4

Kajian sosio-legal

© 2012 All rights reserved

Penulis: Sulistyowati Irianto

Jan Michiel Otto Sebastiaan Pompe Adriaan W. Bedner

Jacqueline Vel Suzan Stoter Julia Arnscheidt

Editor: Adriaan W. Bedner Sulistyowati Irianto Jan Michiel Otto Theresia Dyah Wirastri

Penerjemah: Tristam Moelyono

Pracetak: Team PL

Edisi Pertama: 2012

Penerbit:

Pustaka Larasan

Jalan Tunggul Ametung IIIA/11B Denpasar, Bali 80116 Telepon: +623612163433

Ponsel: +62817353433 Pos-el: pustaka_larasan@yahoo.co.id

Laman: www.pustaka-larasan.com

Bekerja sama dengan

(3)

DAFTAR ISI

Pengantar ~ v Pengantar editor ~ vi

Daftar isi ~ xii

Singkatan ~ xiii

Bab 1. Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologis nya

Sulistyowati Irianto ~ 1

Bab 2. Aras hukum oriental

Jan Michiel Otto & Sebastiaan Pompe ~ 19

Bab 3. Suatu pendekatan elementer terhadap negara hukum

Adriaan W. Bedner ~ 45

Bab 4. Sebuah kerangka analisis untuk penelitian empiris dalam bidang akses terhadap keadilan

Adriaan W. Bedner & Jacqueline Vel ~ 84

Bab 5. Kepastian hukum yang nyata di negara berkembang

Jan Michiel Otto ~ 115

Bab 6. Pluralisme hukum dalam perspektif global

Sulistyowati Irianto ~ 157

Bab 7. Penggunaan teori pembentukan legislasi dalam rangka perbaikan kualitas hukum dan proyek-proyek pembangunan

Jan Michiel Otto, Suzan Stoter & Julia Arnscheidt ~ 171

Bab 8. Shopping forums: Pengadilan Tata Usaha Negara Indonesia

Adriaan W. Bedner ~ 209

Indeks ~ 241

(4)

SINGKATAN

ADR Alternative Dispute Resolution

AMDAL Analisis mengenai dampak lingkungan

Bdk. Bandingkan

BUMN Badan Usaha Milik Negara

CEDAW Convention on the Elimination of Violence Against Women

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

EVD Economische Voorlichtingsdienst

BPN Badan Pertanahan Nasional

HAM Hak Asasi Manusia

IMF International Monetary Fund

KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde

KTUN Keputusan Tata Usaha Negara

KUA Kantor Urusan Agama

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

OECD Organization for Economic Co-operation and Development

PHK Pemutusan hubungan kerja

PLN Perusahaan Listrik Negara

PP Peraturan Pemerintah

PNS Pegawai Negera Sipil

PTUN Pengadilan Tata Usaha Negara

PTTUN Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

MA Mahkamah Agung

MDG’s Millenium Development Goals

RIMO Recht van de Islam en het Midden Oosten

ROLAX Rule of Law and Access to Justice

ROLGOM Rule of Law-Led Governance Model

SASF Semi-autonomous Social Field

Tipikor Tindak Pidana Korupsi

UU Undang-Undang

(5)

KEPASTIAN HUKUM YANG NYATA

DI NEGARA BERKEMBANG

1

Jan Michiel

Otto

Pengantar

K

urang lebih seratus tahun yang lalu mr. Cornelis van Vollenhoven di ruangan yang sama2 menyampaikan pidato pengukuhanya

sebagai guru besar. Orasi ini disampaikannya tidak lama setelah Politik Etis dikumandangkan.3 Melalui kebijakan ini pemerintah Belanda

secara resmi menunjukkan kepeduliannya pada kesejahteraan dan kemaslahatan penduduk Hindia-Belanda. Guru besar berusia muda ini hendak menyumbangkan sesuatu pada ihwal penyelenggaraan hukum dan keadilan (administration of justice).4 Tatkala pemerintah

mempertimbangkan untuk memberlakukan hukum keperdataan

1  Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan Prof. Jan Michiel Otto dalam rangka

penerimaan jabatan sebagai guru besar dalam bidang kajian Law and Admistration in Developing Countries di Universitas Leiden pada tanggal 16 Juni 2000. Tulisan ini adalah

versi modifikasi dari versi yang sudah diterbitkan oleh Komisi Hukum Nasional

Republik Indonesia pada tahun 2003 dengan judul yang sama.

2  Tanggalnya adalah 2 oktober 1901. Bidang kajian Van Vollenhoven mencakup hukum tata negara dan hukum administrasi dari koloni-koloni Belanda serta Hukum Adat (di) Hindia Belanda. Hidup dan karya Van Vollenhoven didiskusikan dalam bibliografi yang ditulis De Beaufort (1954), De Kanter-Van Hettinga Tromp dan Eyffinger (1992),

serta tulisan yang lebih kritis dari Burns (1999). Burns menyatakan bahwa ‘terlepas dari sejumlah keunggulan pribadinya, Van Vollenhoven berjalan – dan pengikut-pengikutnya masih terus berjalan – dengan langkah tegas dan penuh keyakinan ‘ke arah yang keliru’ (Burns 1999: 309). Lihat juga Otto & Pompe (lihat Bab 2).

3  Mengenai muatan isi dan makna dari Politik Etis periksa lebih lanjut Ricklefs (1981);

Fasseur (1993: 411) menyebut Van Vollenhoven sebagai ‘pendeta agung’ dari Politik Etis.

4  Tujuannya adalah menjamin bahwa pengadilan tingkat pertama di Hindia Belanda,

landraden, menyelenggarakan peradilan bagi kepentingan golongan bumiputera

dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat mewujudkan kepastian hukum, keadilan sosial, dan otentitas. Tujuan-tujuan serupa diupayakan pula di koloni lainnya. Untuk telaahan tentang British Indies (India di bawah Inggris) dan kiprah Nelson, yang sepemikiran dengan Van Vollenhoven, lihat Kolff (1992).

(6)

Barat (di Hindia Belanda), ia dengan tegas menentangnya. Menurut hematnya, hukum keperdataan barat tidak cocok bagi kalangan inlander

(golongan pribumi).5

Sebagai alternatif, ia mengembangkan hukum adat; keseluruhan aturan kebiasaan setempat yang ditata menjadi satu sistem.6 Di bawah

arahannya aturan-aturan demikian, dari Aceh sampai dengan Papua, didokumentasikan agar kemudian dapat dirujuk dan diterapkan oleh aparat pemerintahan maupun pengadilan.7 Hukum adat ini, oleh Van

Vollenhoven, dipandang sebagai bagian dari (tatanan) hukum nasional yang pada gilirannya merupakan bagian dari hukum internasional.8

Menurut pandangannya, tri-tunggal ini sedianya menjadi landasan hukum bagi penataan dan pengaturan (masyarakat) dunia.9

5  Satu contoh terkenal ialah rancangan Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk

Wetboek) yang dibuat di bawah pimpinan Mr. Cowan, Direktur (setingkat menteri) Kehakiman (Directeur van Justitie) di Batavia (Ball 1985: 39). Keberatan Van Vollenhoven

terhadap ikhtiar ini dan kebijakan-kebijakan serupa berkenaan dengan unifikasi dan

westernisasi hukum di koloni telah didokumentasikan di dalam sejumlah karyanya, seperti “De ontdekking van het Adatrecht” (Penemuan Hukum Adat, Van Vollenhoven 1928: 142, 151-155).

6  Sistem demikian dibuat mengikuti, antara lain, pembagian wilayah nusantara ke

dalam sembilan belas ‘rechtskringen’ (lingkaran hukum). Van Vollenhoven juga mengkonstruksikan pembagian berdasarkan sejumlah tematik berbeda di mana ia akan memperkenalkan peristilahan baru jika tidak ditemukan konsep Belanda yang sepadan. Satu konsep yang terkenal ialah ‘beschikkingsrecht’ komunal atau hak menguasai negara. Untuk ulasan atas hukum adat sebagai suatu sistem periksa Holleman (ed.) (1981).

7  Panduan untuk melakukan riset lapangan dapat kita temukan di dalam Adatwijzer (Pedoman Adat) yang termuat di dalam Adatrechtbundel I (Van Vollenhoven 1910: 16-20). Total 45 bundels (kumpulan tulisan) tentang hukum adat telah dipublikasikan. Di dalamnya ‘hukum adat yang berlaku’ di setiap lingkaran hukum didokumentasikan. Di samping itu, karya Van Vollenhoven dalam tiga jilid berjudul ‘Het adatrecht van

Nederlands-Indië’ (Hukum Adat Hindia Belanda, 1918, 1931, 1933) merupakan sinopsis

luar biasa di dalamnya hukum adat dikategorisasikan berdasarkan wilayah (Bagian I) dan tematik (Bagian II). Kumpulan tulisan lainnya disusun berdasarkan tematik ialah “Pandecten van het adatrecht” (Pandekten Hukum Adat, Van Vollenhoven 1914-1936).

8  Perhatian besar dan luas dari Van Vollenhoven atas bidang kajian hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal termanifestasi pada fakta bahwa di hari yang sama, 13 Mei 1898, ia lulus dan menjadi doktor tidak saja untuk bidang ilmu hukum melainkan juga untuk bidang kajian ilmu politik. Disertasinya yang kedua berjudul: ‘Omtrek en inhoud van het internationale recht’ (‘Lingkup dan Isi Hukum Internasional’).

9  Pada 1910, Van Vollenhoven menuliskan pandangannya itu di dalam jurnal ‘De Gids’. Ia mengajukan argumen perlu adanya ‘suatu otoritas memaksa yang berkedudukan di atas Negara-negara, (…) hakim internasional (…), kekuatan militer dunia (…).’ Ia mengajukan pandangan agar Belanda mengambil peran sebagai pembuka jalan, dalam hal menyediakan angkatan bersenjatanya sebagai bagian dari ikhtiar membentuk kekuatan kepolisian tingkat dunia. Pandangan tersebut ia ajukan secara tertulis maupun lisan dalam Kongres Dunia 1913. Tatkala Perang Dunia I berakhir di awal 1918, Van Vollenhoven menyelenggarakan kursus di hadapan Volksuniversiteit

(setara dengan universitas terbuka sekarang ini) dengan judul “Drie treden van het

Volkenrecht” (Tiga Tangga Hukum Kebangsaan), usulan provokatif bagi terbentuknya

(7)

Mengikuti jejak langkahnya, maka di Leiden dikembangkan sejumlah bidang kajian untuk hukum non-Barat.10 Sebab itu pula tidak

mengherankan bahwa lembaga kita ini untuk menghormatinya diberi nama Van Vollenhoven Instituut.11 Juga dengan ini dapat diterangkan

kenyataan bahwa bidang kajian ‘hukum dan pemerintahan di negara-negara berkembang’, untuk mana saya menerima pengangkatan sebagai guru besar, tidak begitu saja diturunkan dari langit. Hukum dan pemerintahan (bestuur) tidak dapat dipandang terlepas satu dari lainnya.12 Namun, dalam bidang kajian yang saya bina sebagai

guru besar tentunya hukum akan dikedepankan. Oleh karena itu, sekarang ini13 saya hendak berbicara tentang hukum di negara-negara

berkembang.

Kebanyakan dari negara-negara berkembang memperoleh kemerdekaan mereka setelah dekolonisasi Asia dan Afrika

pasca-10  Di antara mereka yang mengisi jabatan tersebut ialah F.D. Holleman (Hukum Adat Hindia Belanda Timur), J.E. Jonkers (Hukum Pidana Hindia Belanda), R.D. Kollewijn

(Hukum Antargolongan), F. M. Baron van Asbeck (Hukum Tata Negara Hindia Belanda), J.H.A. Logemann (Hukum Tata Negara dan Hukum Administratif Hindia Belanda, Surinam dan Curaçao), M.H. van der Valk (Hukum Cina), V. E. Korn (Hukum Adat), J. Keuning dan J.F. Holleman (Hukum Internasional dan Perkembangan Hukum di Masyarakat Non-Barat), E.A.B. van Rouveroy (Negara Dan Hukum di Afrika).

11  The Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development in Non-Western

Societies atas usulan penulis mendapatkan namanya sekarang ini pada 1989. Untuk

pertama kalinya lembaga ini didirikan pada 1978 sebagai pusat studi untuk hukum di Asia Tenggara dan Karibia (Dutch Research Centre for Law in Southeast Asia and

the Caribbean (NORZOAC) sebagai kerja sama antara Universitas Leiden dengan

KITLV (Royal Institute of Linguistics and Anthropology). Selanjutnya pihak universitas menambahkan Documentatiebureau voor Overzees Recht (Documentation Office for

Overseas Law) yang terdiri dari satu orang pengajar dan satu sekretaris paruh waktu.

KITLV menyumbangkan koleksi buku-buku dari Adatrechtstichting (Yayasan Hukum Adat) yang jatuh ketangannya setelah yayasan ini dilikuidasi pada 1974.

12  Di negara-negara modern, hukum dimengerti baik dalam kerangka formal yang melandasi pengaturan oleh pemerintah dan sekaligus menjadi instrumen kebijakan

yang utama dari pemerintah. Sistem hukum yang berfungsi baik mengasumsikan adanya pemerintahan yang berkuasa dengan ragam kewenangan dalam hukum publik serta kewajiban-kewajiban yang terkait dengannya, hal mana juga diperlukan dalam rangka penegakan hukum perdata. Dalam studi tentang negara-negara berkembang perkaitan antara hukum dengan administrasi (pemerintahan) kerap diabaikan. Di Amerika Serikat dapat kita temukan tumbuh kembangnya tradisi penelitian yang terpisah antara kedua topik di atas. Karya-karya Robert & Ann Seidman (1978, 1994, 2001) merupakan satu pengecualian menarik dalam tradisi tersebut. Di samping itu, meningkatnya perhatian pada kelembagaan hukum (legal institutions) muncul pula di dalam penelitian-penelitian ilmiah yang dikembangkan dalam kerangka kerja sama internasional. Ilustrasi dari yang disebut terakhir ialah Jayasuriya (1999). Lembaga penelitian Van Vollenhoven juga sudah sejak 1991 berkiprah di bidang penelitian tersebut di atas.

13  Tanggal disampaikannya orasi ini tepat dua belas tahun enam bulan setelah tanggal

(8)

Perang Dunia II.14 Pada 1900 terdata adanya 48 negara, namun setelah

proses dekolonisasi serentak jumlahnya bertambah dengan kurang lebih 150 negara baru, masing-masing dengan sistem hukum nasionalnya sendiri.15 Sekalipun 4/5 dari keseluruhan penduduk dunia hidup di

negara-negara berkembang,16 kenyataan menunjukkan pula bahwa ilmu

hukum kita (Belanda dan Eropa) umumnya kurang memberi perhatian terhadap sistem hukum negara-negara berkembang tersebut.17

Padahal bagi dunia barat bukannya tidak penting untuk mencari tahu bagaimana rupa dan bekerjanya sistem hukum negara-negara berkembang itu. Pengetahuan tersebut akan sangat berperan tatkala kita dihadapkan pada persoalan permintaan suaka dan juga bagi (perkembangan) putusan peradilan nasional di dalam masyarakat multikultural Belanda.18 Lagipula dunia usaha kita sangat tertarik

14  Tentunya hal ini tidak berlaku untuk semua negara berkembang. Sejumlah negara-negara Amerika Latin sudah mendeklarasikan kemerdekaan mereka pada paruh pertama abad ke-19. Beberapa negara di Asia, seperti Cina, Jepang dan Thailand tidak pernah mengalami kolonisasi oleh negara-negara Eropa. Beberapa negara lain (seperti misalnya Mesir) yang kurang lebih mengalami kolonialisasi sudah mendapatkan kemerdekaan mereka sebelum berakhirnya Perang Dunia II. Meskipun demikian, kebanyakan negara berkembang mendapat kemerdekaan setelah tuntasnya perang tersebut. Patut disebut ialah tahun 1960, saat tercatat munculnya 17 negara baru.

15  Tampaknya sulit untuk memastikan berapa jumlah negara berkembang. Daftar resmi

yang disusun oleh the Development Assistance Committee of the Organization for Economic

Co-operation and Development (OECD) pada Januari 2000 memuat sebagian negara yang

secara tradisional tergolong negara berkembang yang akan menerima bantuan resmi dana pembangunan (official development aid), namun daftar tersebut juga memuat

nama satu negara Eropa Timur yang sudah jauh lebih berkembang dan negara-negara berkembang lainnya yang berhak mendapatkan bantuan resmi (official aid). Ada total 187 negara penerima bantuan, di antaranya (152) dapat kita kategorikan sebagai negara berkembang tradisional, yaitu berdasarkan nilai yang mereka peroleh atas dasar perhitungan sejumlah indikator pembangunan. 35 negara lainnya sekarang ini dinamakan negara transisional (transition countries). Indiktor pembangunan negara-negara tersebut menyamai negara-negara-negara-negara maju (http://www.oecd.int/dac/indicators). Arnold (1994: 178-194) menyimpulkan adanya 157 negara berkembang yang tersebar di beberapa wilayah sebagai berikut: Asia: 43; Timur Tengah: 16; Afrika: 55; Amerika Latin dan Karibia: 39; Eropa: 4.

16  Menurut the World Bank Development Indicator tahun 1997, dari total jumlah penduduk dunia sejumlah 5.673 miliar pada 1995, sekitar 4.771 miliar tinggal di Negara-negara dengan pendapatan bawah-menengah; seluruhnya 84% (World Bank 1997: 36).

17  Ilmu hukum (legal science) umumnya merupakan cabang ilmu yang lebih introvert (melihat ke dalam) dibanding disiplin ilmu lainnya. Ini antara lain karena kerap membatasi diri sendiri hanya pada yurisdiksi suatu negara, warga negara tertentu dan lingkup bahasa tertentu saja. Pengecualian adalah pada studi hukum internasional dan dari hukum asing dalam perbandingan hukum. Dalam bidang kajian perbandingan hukum di Belanda fokusnya terutama pada perbandingan antara sistem hukum Eropa dengan hukum Amerika Utara. Hal ini nyata antara lain dari terbitan Nederlandse

Vereniging voor Rechtsvergelijking (Dutch Comparative Law Association)

18  Selama penilaian atau evaluasi permohonan suaka, maka persoalan tentang

(9)

negara-pada emerging markets, yang direpresentasikan negara-negara ber-kembang dan artinya terhadap sistem hukum nasional negara-negara itu.19 Bahkan juga dalam urusan hubungan luar negeri kita akan

selalu bersinggungan dengan hukum negara-negara berkembang: dalam perundingan multilateral dalam konteks WTO, dalam urusan

pengembangan kebijakan hak asasi, kebijakan lingkungan dan dalam

pengelolaan kerja sama bantuan luarnegeri.20 Bahkan juga kebanyakan

negara-negara donor, di bawah kepemimpinan Bank Dunia, dalam waktu 10 tahun kebelakang dalam konteks pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) telah memprioritaskan penguatan (fungsi dan peran) hukum di negara-negara berkembang.21

2. Hukum di negara-negara berkembang

Pada umumnya hukum di negara-negara berkembang secara historis terbentuk oleh empat lapisan.22 Lapisan terdalam terdiri dari

aturan-aturan kebiasaan yang diakui (sebagai hukum oleh masyarakat yang bersangkutan), di atasnya ialah lapisan aturan-aturan keagamaan yang diakui, kemudian aturan-aturan hukum dari negara kolonial dan lapisan paling atas ialah hukum nasional modern yang terus berkembang.23 Sejak beberapa puluh tahun ke belakang kemudian

negara berkembang – di antaranya mereka yang menganut kepercayaan Hindu atau Islam – dan dalam kasus-kasus hukum pidana dengan ihwal ‘pembelaan atas dasar budaya’ (cultural defence). Pengetahuan tentang hukum di negara-negara Islam juga secara sistematis telah dikumpulkan di Belanda oleh Vereniging tot Bestudering van het Recht van de Islam en het Midden Oosten (Association for the Study of Islamic Law and the Law in the Middle East/RIMO) yang telah mempublikasikan koleksi artikel dari simposium tahunan sejak 1984.

19  Untuk beberapa negara berkembang yang dianggap penting telah dipublikasikan dan tersedia panduan yuridis: ‘How to do business in …’. Sebagai ilustrasi Kluwer pada tahun 80-an menerbitkan satu serial bertajuk ‘fiscale en juridische documentatie voor het internationaal zakendoen’ (dokumentasi yuridis dan fiskal/perpajakan untuk

kepentingan berbisnis di tataran internasional). Kantor Layanan Informasi Ekonomi Belanda (Economisch Voorlichtingsdienst/EVD) menerbitkan kertas-kertas kerja (working papers) tentang, antara lain, berbisnis melalui Uni Eropa, Bank Dunia, dan Inter-American Development Bank. Menurut penelitian skala besar yang dilakukan Ernst & Young (1994) perihal tingkat investasi korporasi di pasar negara-negara berkembang (emerging markets) ketidakpastian tentang hukum yang berlaku dan penerapannya dipandang sebagai salah satu dari tiga hambatan (Ernst & Young 1994: 3).

20  Contoh dari apa yang disebut di atas, antara lain, ialah putaran perundingan WTO:

Cassela (1997), Li (1998); Human Rights Policy: Hingorani (1984); Environmental Law: Magraw (1990); Development Co-operation: Faundez (1997).

21  Lihat World Bank 1995; Seidman et al. (eds.) 1999; Faundez 1997.

22  Model empat lapisan (sistem hukum) telah diulas dan dianotasi secara kritis dalam

Otto (1991).

23  Berkenaan dengan dua lapisan terdalam kita dapat secara tegas berbicara tentang

(10)

ditambahkan lapisan kelima, yaitu hukum internasional. Bagaimana hubungan dan pencampuran antara lapisan-lapisan di atas berbeda dari satu negara ke negara lain, untuk tiap wilayah hukum, dan dalam konteks waktu. Namun demikian, terlepas dari bagaimana hukum terbentuk di negara berkembang, kendala utama yang sertamerta muncul ialah kenyataan bahwa hukum demikian di dalam praktiknya tidak berfungsi (sebagaimana mestinya).24

Tidak berfungsinya hukum sebagaimana mestinya di dalam praktik merupakan masalah serius, baik bagi rakyat biasa maupun penguasa. Kebanyakan orang di negara-negara berkembang dalam kehidupan sehari-hari harus menghadapi kekuatiran dan ketidakpastian tentang apa yang mereka alami maupun yang masih akan mereka hadapi. Kekuatiran dan ketidakpastian ini berkenaan dengan jaminan keamanan dan keberlanjutan sumber penghidupan, perlindungan keamanan hartabenda, tanah, rumah dan keluarga dari diri mereka. Hukum di sana tidak (mampu) berfungsi sebagai jaring pengaman yang dapat diandalkan jika keadaan darurat muncul.25

Bagi pihak penguasa ketiadaan sistem hukum yang efektif merupakan kendala utama bagi pengembangan dan pelaksanaan

kebijakan pembangunan yang dicanangkan.26 Kegagalan fungsi

hukum menjadi penghalang utama yang menghambat keberhasilan

pelaksanaan dan pencapaian tujuan kebijakan pembangunan. Hukum

lagipula terbukti mutlak diperlukan untuk memastikan keberhasilan hampir semua program-program pembangunan terpenting: keamanan, pertumbuhan ekonomi, pemerataan, demokratisasi, pengelolaan

rule of law’ (aturan hukum yang berkuasa), akan ditemukan perbedaan pandangan.

Penulis sendiri berkecenderungan untuk mencadangkan pengertian aturan hukum hanya untuk aturan-aturan yang diterbitkan, dinegosiasikan atau diakui oleh, atau untuk dan atas nama negara, berdasarkan peraturan (proses pembentukan) yang telah ditetapkan terlebih dahulu, dan yang penaatannya pada instansi terakhir dapat dipaksakan oleh aparat negara. Bilamana negara mengakui ‘hukum Islam’ atau ‘hukum hukum adat’ dalam artian umum, melalui hukum (negara) atau yurisprudensi, pertanyaan yang muncul ialah aturan manakah (di antara kedua aturan berbeda itu) yang in concreto dianggap sebagai hukum yang berlaku.

24  Dalam teorinya tentang masyarakat prismatik (prismatic society), Riggs (1964: 15-19) menyebut kesenjangan antara apa yang secara resmi ditetapkan (sebagai hukum) dan apa yang dalam kenyataan dipraktikkan sebagai karakteristik yang segera tampak dari masyarakat yang berada dalam tahapan peralihan atau diantara tradisional dengan modern. Kebanyakan penelitian sosio-legal maupun antropologi hukum di negara-negara berkembang menguatkan hipotesis Riggs di atas.

25  Satu masalah penting dalam hukum di negara-negara berkembang ialah fakta bahwa struktur tradisional tidak lagi mampu berfungsi sebagai jaring pengaman sosial yang handal. Konsekuensi situasi ini dalam hal hukum keluarga telah digambarkan dengan sangat baik oleh Mtengeti-Migiro (1991).

(11)

lingkungan. Tiap perbincangan tentang dan perumusan kebijakan

pada akhirnya akan berujung pada himbauan, bahkan tuntutan dikembangkannya mekanisme dan struktur formal yang baru. Bila itu semua ternyata kemudian tidak berfungsi, maka apa yang terjadi ialah kita bertitik tolak dari posisi yang sangat tidak menguntungkan dan pada akhirnya kita hanya melanggengkan ketertinggalan.27

Alasan tidak efektifnya hukum memiliki sebab-sebab yuridis dan nonyuridis. Para praktisi atau pengemban hukum di negara-negara berkembang, mengingat adanya ketidak-lengkapan sumber-sumber hukum, acap mengalami kesulitan mencari dan menemukan aturan hukum mana yang seharusnya berlaku dalam suatu situasi konkrit. Lebih lagi mereka juga mengalami kesulitan memastikan bagaimana semua aturan yang tersedia dan ditemukan yang ada seharusnya ditafsirkan dan dimaknai.28 Singkat kata, ada ketidakpastian tentang

apa yang seharusnya menjadi hukum, tidak ada kepastian hukum dalam arti formil-yuridis.29 Kendati begitu, sekalipun kepastian hukum

demikian ternyata ada, maka kepastian hukum yang muncul kerapkali hanyalah berupa kepastian hukum yuridis atau teoretikal belaka. Karena di dalam praktik, baik instansi pemerintahan maupun para

27  Sekalipun dalam banyak situasi hukum kerap tidak berfungsi dengan baik, tidak

seorangpun akan menyangkal atau membantah bahwa struktur hukum yang paling mendasar akan diperlukan bahkan niscaya. Evaluasi atas program-program pembangunan sektoral sering berakhir pada kesimpulan bahwa sistem hukum harus diperbaiki dan/atau diperbaharui.

28  Kurangnya sumber-sumber hukum yang tersedia berkaitan tidak saja dengan muatan

isinya melainkan juga dengan kemudahan mendapatkannya atau keterjangkauannya oleh pencari keadilan. Kualitas hukum dan pengadilan di banyak negara (berkembang) harus diakui berada di bawah standar, hal mana akan diulas lebih rinci dalam paragraf 4 tulisan ini. Aksesabilitas, berkaitan dengan penyediaan informasi hukum merupakan satu persoalan tersendiri yang patut diberi perhatian lebih. Untuk analisis dari makna penting dan kekurangan dalam penyediaan informasi yuridis di Indonesia periksa lebih lanjut: Gray (1991) dan Churchill (1992). Penulis yang disebut terakhir mengulas pentingnya keterjangkauan dan ketersediaan informasi yuridis (hukum) dalam rangka penciptaan kepastian hukum.

29  Di dalam kamus hukum dari Fockema Andreae (Rechtsgeleerd Handwoordenboek,

Algra & Gokkel 1981: 511) kepastian hukum didefinisikan sebagai: ‘keyakinan yang

(seyogianya) dimiliki anggota masyarakat bahwa pemerintah akan memperlakukan dirinya berlandaskan pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan tidak secara sewenang-wenang, tanpa membeda-bedakan (sejauh memungkinkan), kepastian tentang substansi dari aturan (muatan isi dan bagaimana aturan dimaknai dalam praktik). Dalam kalimat terakhir ini, kepastian hukum (legal certainty) merupakan satu persyaratan bagi pemberlakuan/penerapan hukum’. Di dalam diskursus hukum, konsep legal certainty acap dimaknai sebagai prinsip bahwa warga pencari keadilan boleh berharap dan yakin bahwa peraturan hukum akan diterapkan dan diinterpretasikan dengan cara yang terduga sebelumnya. Prinsip ini kemudian memunculkan norma hukum yang tertuju secara langsung pada abdi negara (pegawai negeri). Namun demikian, di sini, penulis akan membatasi pengertian tersebut hanya

pada bagian pertama dari definisi di atas: kepastian atau keyakinan faktual yang

(12)

pihak belum tentu betul tunduk dan taat terhadap hukum. Kadang bahkan dapat dikatakan bahwa penaatan pada hukum jarang atau sama sekali tidak terjadi. Antara perundang-undangan dengan kenyataan kita temukan adanya jurang yang lebar. Dengan kata lain, hanya ada sedikit ‘kepastian hukum yang nyata’ (real legal certainty).30

Kepastian hukum nyata sesungguhnya mencakup pengertian kepastian hukum yuridis, namun sekaligus lebih dari itu. Saya

men-definisikannya sebagai kemungkinan31 bahwa dalam situasi tertentu:

- tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh atau diakui karena (ke-kuasaan) negara;32

- bahwa instansi-instansipemerintahmenerapkan aturanaturan hu -kum itu secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadapnya;33

- bahwa pada prinsipnya bagian terbesar atau mayoritas dari warga-negara menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;34

- bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa

30  Istilah atau pengertian ‘real legal certainty’ (kepastian hukum nyata) sepanjang yang saya ketahui belum pernah dipergunakan siapapun juga sebelumnya. Makna dari konsep ini kurang lebih mendekati apa yang penulis-penulis lain sebut sebagai ‘rule of law’ atau ‘rechtsstaat’ (negara hukum; negara yang berlandaskan rule of law). Sebagai contoh: Shihata 1999: xviiii. Namun demikian pengertian yang pertama disebut lebih terfokus pada negara karena tataran analisisnya adalah negara. Sedangkan konsep kepastian hukum nyata terutama difokuskan pada situasi individual konkrit.

31  Dengan ini saya mengikuti pandangan sosiolog Max Weber yang mendefinisikan

pengertian-pengertian abstrak seperti ‘hubungan sosial’ (social relations) dan ‘kekuasaan’ (power) atas dasar konsep ‘kemungkinan’ (chance).

32  Saya menggunakan istilah negara (state) dalam dua pengertian. Pertama dalam

konteks masyarakat (1) dengan atau mencakup hubungan-hubungan kekuasaan, (2) di dalam mana sekelompok manusia bertempat tinggal dalam wilayah tertentu, (3) dengan mengikuti aturan-aturan perilaku yang bersifat umum dan tetap, (4) di bawah kendali pemerintahan, (5) yang menjalankan otoritas domestik (memiliki kuasa untuk mengatur) orang dan benda, dan (6) melaksanakan hubungan-hubungan internasional dengan masyarakat (negara) lainnya. Kedua, konsep negara dimengerti dalam konteks otoritas (authority) dan kelembagaan (institutions) yang tercipta dan dilengkapi dengan kemampuan atau kewenangan (competences) membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan atas nama masyarakat tersebut.

33  Konsep ini menjadi titik tolak dari pengertian negara konstitusional sebagai negara di

dalam mana organ-organnya serta lembaga-lembaga pemegang kekuasaan dibatasi kiprahnya oleh hukum. Konsep ini dapat dilawankan dengan ‘power state’ (negara dilandaskan kekuataan semata).

34  Konsep ini memgaitkan hukum, legitimasi, dan komunitas. Pada prinsipnya hal ini

(13)

hukum yang dibawa kehadapan mereka;35

- bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.36

Semakin baik suatu negara hukum berfungsi, maka semakin tinggi tingkat kepastian hukum nyata. Sebaliknya bila suatu negara tidak memiliki sistem hukum yang berfungsi secara otonom,37 maka kecil pula

tingkat kepastian hukum. Terlepas dari negara (berkembang) manapun yang menjadi fokus kajian, kita akan segera kembali berhadapan dengan pertanyaan pokok seperti: sejauh mana atau pada tingkat apa kita dapat temukan kepastian hukum nyata? Faktor-faktor yuridis dan non-yuridis apakah yang menentukan hal ini? dan apa yang dapat kita lakukan untuk memperbesar tingkat kepastian hukum nyata demikian?

Di sini dapat dikatakan bahwa tingkat kepastian hukum nyata hampir selalu dapat digambarkan beranjak dari tiga jenis faktor. Pertama dari aturan-aturan hukum itu sendiri,38 kedua dari instansi-instansi

(kelembagaan/institutions)39 yang membentuk dan memberlakukan

serta menerapkan hukum dan yang bersama-sama dengan hukum membentuk sistem hukum, dan ketiga dari lingkungan sosial yang

35  Konsep ini dikenal dengan nama ‘kemandirian yudisial’ (judicial independence) dapat diuji dengan dua kriteria, pertama pengujian dalam wujud konsistensi dari putusan-putusan hakim (pengadilan). Kedua, pengujian sosio-legal berkenaan dengan bagai-mana hakim menafsirkan hukum serta metode kerja yang digunakannya. Contoh baik dari pengujian ganda demikian muncul dalam disertasi doktoral Bedner (2000).

36  Konsep ini dicakupkan sebagai unsur ‘kepastian hukum nyata’ setelah penulis

melakukan ragam penelitian di beberapa negara berbeda, termasuk ke dalamnya Cina, Indonesia dan Tanzania. Temuan yang muncul ialah kerap persoalan bagaimana putusan pengadilan justru tidak dieksekusi namun dikesampingkan begitu saja.

37  Dengan istilah sistem hukum saya maksudkan sekumpulan aturan-aturan hukum, aktor-aktor mana di dalamnya bertindak dalam lingkup sosial mereka. Di samping individu, juga lembaga merupakan aktor penting dalam sistem hukum. Dalam pustaka berbahasa Inggris kita biasa berbicara tentang ‘legal institutions’. Saya sendiri menggunakan istilah ‘rechtsinstellingen’. Otonomi dari satu sistem hukum berkenaan dengan kebebasan atau kemandirian kelembagaan hukum demikian untuk membuat, memproses, memberlakukan dan menyampaikan informasi hukum. Melalui interaksi dan komunikasi yang terjalin antara ragam aktor, maka seolah-olah satu sistem hukum akan berfungsi sebagai mesin yang berjalan otomatis yang membentuk, mengembangkan, mengumumkan, memberlakukan, menegakkan, mengajarkan, meneliti, mengevaluasi dan memperbaharui norma-norma hukum.

38  Di kebanyakan negara berkembang pengaruh dari kekuatan-kekuatan sosial-kemasyarakatan dan politik acap mengakibatkan ketidakpastian dan inkonsistensi berkenaan dengan pemaknaan (termasuk pemberlakuan dan penegakan) aturan-aturan hukum. Lebih jauh lagi, lembaga-lembaga (kelembagaan) hukum kerap tidak memiliki keahlian maupun sumberdaya cukup untuk mengonstruksikan sistem hukum yang konsisten dan terjangkau oleh masyarakat.

39  Di dalam pidato inagurasi ini, istilah Belanda ‘instelling’ diprioritaskan daripada

‘institute’. Istilah ‘institute’ sekarang ini dipergunakan dalam studi institutional economy, administrasi publik dan sosiologi-organisasi dalam pelbagai makna. Istilah ‘instelling’

(14)

lebih luas: faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial-budaya.40 Sebab itu

pula kajian-kajian (hukum) yang biasa kita lakukan, entah mengenai pengaturan tata guna air atau kebebasan pers, mencakup tiga lapis analisis: yuridis, ilmu (administrasi) pemerintahan (bestuurkundige),

dan analisis ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. 

Untuk analisis demikian terhadap bekerjanya secara praktikal hukum (actual functioning), maka pertama-tama dibutuhkan penge-tahuan hukum. Selanjutnya juga perlu diketahui (atau dikuasai) bahasa dan budaya negara yang bersangkutan,41 termasuk juga konsep-konsep

dan metodologi dari sosiologi dan antropologi hukum.42 Kemudian

untuk kepentingan menelaah bagaimana tepatnya pranata atau kelembagaan huum berfungsi disyaratkan pula penguasaan atas ilmu pemerintahan (public administration)43 dan ilmu politik (political science).44

Sebab itu pula saya sependapat dengan pandangan Logemann. Ia dalam orasinya yang disampaikan pada 1947 sudah menegaskan bahwa

40  Faktor-faktor tersebut umumnya dirangkum sebagai kata kumpulan ‘environment’ (lingkungan) atau ‘context’ (konteks) dari hukum. Dalam disiplin ilmu administrasi publik dari negara-negara berkembang, banyak perhatian sistematik diberikan pada faktor-faktor kontekstual, antara lain, seperti yang dilakukan Riggs (1964) dalam bukunya ‘Ecology of Administration’ dan Esman (1991) dalam karyanya ‘Institution Building Universe’.

41  ‘Language and Culture’ (Taal en cultuur) adalah istilah yang dipergunakan Fakultas Sastra di Universitas Leiden untuk merujuk semua bidang kajian non-Barat. Tumbuh kembangnya kajian hukum adat dan aliran pemikiran tentang ini di Leiden dilandaskan pada penelaahan berlanjut terhadap hukum dan bahasa serta budaya.

42  Kebanyakan pustaka (bidang kajian) sosiologi hukum menyoal hukum dan masyarakat di negara-negara Barat. Sebaliknya antropologi hukum justru terfokus pada masyarakat di negara-negara non-Barat. Disiplin ilmu ini sejak lama dikarakteristikkan oleh perhatian pada masyarakat skala kecil (di-) pedesaan dan persoalan-persoalan seperti ‘pluralisme hukum’. Kendati demikian, sejauh dan sepanjang studi tentang hukum di negara berkembang terfokus terutama pada lembaga-lembaga negara (pranata hukum formal) dan bagaimana sistem hukum bekerja di luar konteks masyarakat skala kecil, maka yang digunakan sebagai titik tolak ialah konsep-konsep serta teori-teori yang berkembang dalam ranah sosiologi hukum. Sekalipun sebenarnya konsep serta teori demikian awal mulanya dikembangkan untuk menelaah masyarakat di Barat.

43  Di sini saya secara khusus berpikir tentang ilmu administrasi publik di negara-negara berkembang, atau ilmu administrasi pembangunan (development administration) yang setelah mengalami pertumbuhan pesat di era tahun 1920-an dan 1930-an sekarang ini kembali menjadi pusat perhatian. Sekadar karena alasan praktis, disiplin ilmu ini tidak memberi perhatian pada lembaga-lembaga hukum (legal institutions) (Riggs

1964: 57-60; Esman 1991: 19). Kekosongan perhatian ini hendak dijembatani dengan

pengembangan studi hukum dan administrasi di negara-negara berkembang.

(15)

untuk bidang kajian ini kita memerlukan bantuan dari pelbagai cabang ilmu pengetahuan.45 Melakukan penelitian ilmu hukum yang

multi-disipliner bukan pekerjaan ringan,46 namun jelas akan sangat berguna

(dan mencerahkan), lagipula mutlak perlu. Bahkan bagi peneliti yang niscaya memandang penting konteks sosial dari hukum di negara-negara berkembang, cara ini secara faktual merupakan satu-satunya pendekatan yang relevan.

Lantas apa yang kemudian kita bisa pelajari dari kajian terhadap hukum di negara-negara berkembang? Untuk kesempatan ini saya tidak akan memfokuskan diri pada satu negara atau wilayah hukum tertentu, namun akan mencoba menampilkan suatu sketsa, gambaran umum, dari perkembangan hukum di negara-negara tersebut. Sekalipun tiap negara pasti jauh berbeda satu sama lain, dengan melakukan perbandingan47

kita dapat temukan adanya sejumlah pola dan kecenderungan-kecenderungan umum. Cerita yang akan digambarkan di bawah merupakan kilas balik kurang lebih lima puluh tahun kebelakang. Saya dengan sengaja memilih menempatkan cerita di masa lampau dan akan merupakan kisah tentang kemunculan hukum nasional, perlawanan terhadap kebangkitan hukum nasional, impasse (masa kemandekan), dan daya dorong (impuls) baru yang kemudian muncul. Saya akan mulai dengan awal lahir dan berkembangnya hukum nasional.

3. Hukum setelah kemerdekaan: Awal yang cepat

Penghujung masa kolonialisme pada paruh akhir abad ke-20 menandai awal dari perkembangan yang cepat dari banyak sistem hukum

negara-45  Baik Van Vollenhoven maupun Logemann dalam pidato pengukuhan mereka masing-masing sebagai guru besar secara panjang lebar menjelaskan ragam pendekatan ilmu lainnya yang diperlukan dalam kajian studi yang mereka bina. Tidak saja keduanya secara tegas mendukung digunakannya pendekatan sejarah hukum dan perbandingan hukum, namun mereka juga merekomendasikan pengamatan ilmiah (scientific observation) terhadap cara bagaimana norma-norma hukum dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Singkat kata serupa dengan pendekatan yang dikembangkan dalam antropologi atau sosiologi (Lihat juga Logemann 1947: 7).

46  Satu pemilihan berguna dalam konteks ini adalah antara pendekatan internal-yuridis

dengan kebalikannya eksternal-sosiologis. Pembahasan menarik tentang kontras antara kedua pendekatan tersebut dapat kita temukan dalam penelaahan Brouwer tentang pidato inagurasi (pengukuhan sebagai guru besar) yang disampaikan

A.J.K.M. Strijbosch (1995). Brouwer menyatakan bahwa kedua perspektif tersebut

pada prinsipnya (sekalipun) eksklusif satu terhadap lainnya, namun pada saat sama juga cocok satu sama lain (compatible), namun dengan syarat perbedaan tajam antara keduanya tetap dipertahankan.

47  Pola yang sama dapat ditengarai dalam ratusan publikasi tentang hukum di

‘negara-negara berkembang’ (developing countries) atau hukum di ‘Dunia ketiga’ (Third World).

(16)

negara di Asia-Afrika.48 Pada waktu itu kebanyakan penduduk di

negara-negara berkembang tersebut masih tinggal dan bermukim di pedalaman dan/atau pedesaan.49 Sedangkan pada masa kolonial,

kekuasaan langsung terhadap kehidupan mereka terwujudkan dalam kepemerintahan kepala suku. Ia pula yang tatkala menghadapi sengketa di antara anggota masyarakatnya merujuk pada dan menerapkan norma-norma yang berlaku dalam perikehidupan masyarakat pribumi dan aturan-aturan tradisional.50 Sebaliknya, di wilayah perkotaan

di negara-negara berkembang tersebut kita temukan pelapisan dan pemisahan sosial-ekonomi khas pemerintahan masa kolonial. Hal mana juga berpengaruh terhadap struktur dualistik hukum keperdataan: hukum Barat untuk masyarakat golongan Eropa dan ‘hukum yang dilandaskan pada adat-istiadat setempat’ bagi masyarakat selebihnya.51

Tatkala kekuasaan kolonial berhasil dihapuskan dan kemudian muncul kebutuhan untuk membentuk stelsel hukum baru, maka terlihat pula ada silang pendapat dan ketegangan di kalangan elite nasional baru yang kemudian muncul.52

Beberapa dari mereka berkehendak agar hukum modern, sekuler yang semula hanya berlaku bagi golongan Eropa sekarang diberlakukan saja bagi semua. Lainnya lagi berpendapat bahwa justru

48  Tidak termasuk ke dalamnya ialah negara-negara yang tidak pernah dikolonisasi (dijajah) seperti Cina, Turki dan Thailand. Bahkan juga tidak mencakup negara-negara yang sudah merdeka sebelumnya seperti negara-negara di Amerika Latin. Namun bagian terbesar dari kisah yang saya sampaikan berlaku mutatis mutandis bagi negara-negara itu pula.

49  Prosentase dari penduduk yang bermukim di pedesaan pada 1950-an adalah 85,4%

(Afrika); 84,7% (Asia); 58,6% (Amerika Latin). Pada 1995 angka-angka tersebut berubah jauh menjadi 65,1% (Afrika); 67% (Asia) dan 26,6% (Amerika Latin) (O’Meara 1999: 136).

50  Norma-norma tersebut berubah sewaktu zaman kolonial. Pertama karena penguasa

kolonial hanya mengakui keberadaan sejumlah kecil lembaga-lembaga dalam hukum kebiasaan (adat) seperti kepala suku (ketua adat) sebagai pihak yang menyelesaikan sengketa. Kedua, karena adanya fakta bahwa di kebanyakan koloni dibuka peluang untuk mengajukan banding terhadap putusan kepala suku atau ketua adat kehadapan pengadilan (court of law). Badan-badan peradilan ini hanya akan menerapkan hukum kebiasaan (masyarakat tradisional atau hukum adat) jika hukum demikian tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang diterima dan diakui keberlakuannya secara umum oleh masyarakat. Di samping itu, hakim-hakim di pengadilan demikian tidak memiliki pemahaman cukup dan dalam perihal hukum kebiasaan (adat) tersebut sehingga para pihak dapat menggunakan aturan dalam hukum kebiasaan dengan cara yang paling sesuai dengan keyakinan hukum mereka

(Mommsen & De Moor 1992; Allott 1980).

51  Untuk pembahasan tentang dualisme kolonial di pelbagai negara di Asia-Afrika, lihat

Mommsen & De Moor (1992).

52  Tentang kejatuhan elite pada tahapan ini, lihat Allott (1980: 195) dan Heady (1996:

(17)

hukum adat atau hukum agama-lah yang seharusnya dikembangkan menjadi hukum nasional. Segolongan hendak mendirikan negara

kesatuan dengan (dukungan) stelsel unifikasi hukum. Sedang yang

lainnya justru ingin adanya pengakuan atas keragaman dan otonomi daerah. Beberapa menginginkan dikembangkannya stelsel hukum sosialistik meniru model Uni Soviet, yang membuka kemungkinan bagi campurtangan negara (dalam kehidupan ekonomi-sosial-politik) dan konsentrasi kepemilikan modal pada Negara dan Kooperasi, sedangkan lainnya lagi justru hendak meniru model barat yang menjamin hak milik pribadi dan kebebasan berkontrak. Berhadapan dengan silang pendapat yang sengit tersebut sulit untuk mencapai konsensus terutama karena masyarakat negara-negara berkembang, juga setelah sistem dualistik dihapuskan, masih tetap sangat heterogen.53 Baik kalangan

elite maupun masyarakat terpecah-pecah berdasarkan garis pembatas tajam berupa kesukuan, tingkat perekonomian maupun kecondongan paham politik. Artinya masing-masing kelompok masyarakat tersebut memiliki dan memelihara acuan norma yang jauh berbeda-beda.54

Lebih jauh lagi, mayoritas dari masyarakat negara-negara berkembang 50 tahun yang lalu setidak-tidaknya merupakan masyarakat pedesaan (rural), tradisional, miskin dan buta huruf.

Pada akhirnya elite politik memotong simpul-simpul masalah, membuat kompromi-kompromi, dan mengumandangkan undang-undang dasar yang merumuskan hubungan baru antara warga dan lembaga-lembaga negara.55 Pilihan yang dibuat acap kali tertuju pada

pengembangan hukum modern, sekuler, yang mengambil model

53  ‘Heterogenitas’ dirangkum oleh Riggs (1964) sebagai salah satu dari tiga karakteristik

utama dari model masyarakat prismatik yang dirancang khusus untuk mempelajari negara-negara berkembang. Dikatakan secara sederhana, istilah ini ia maknai dalam artian sejauh mana ciri-ciri modern dan tradisional dari struktur sosial tercampur satu sama lain. Kumpulan warna dari ragam kelompok etnis yang mencirikan banyak

negara berkembang didefinisikan Riggs sebagai ‘polycommunalism’. Baik heterogenitas (keberagaman) maupun poli-komunalisme menghambat tercapainya konsensus perihal bagaimana membentuk dan wujud dari hukum nasional seharusnya.

54  Istilah ‘polynormativism’ merupakan istilah yang paling tepat untuk menggambarkan situasi dan kondisi yang ada dan berlakunya secara berdampingan ragam norma dan sistem norma pada saat (dan di wilayah) yang sama. Sedangkan istilah ‘pluralisme hukum’ (legal pluralism) yang juga digunakan dalam konsteks ini pada intinya secara tidak langsung mengaitkan predikat ‘hukum’ (law) pada sejumlah norma-norma sosial yang sebenarnya tidak umum dipandang sebagai norma hukum. Menurut hemat saya inilah satu kelemahan utama yang muncul dari penggunaan istilah ini.

55  Hampir semua konstitusi (undang-undang dasar) mencakupkan ketentuan yang

(18)

hukum barat, biasanya dengan kecondongan sosialistik.56 Sejumlah

negara Islam menempatkan keyakinan agama sebagai landasan pijak

pengembangan hukum.57 Hampir semua pembuat undang-undang

terinspirasikan dan membiarkan diri dituntun oleh gambaran ideal

unifikasi (hukum) dan modernisasi. Kebanyakan undang-undang dasar

mencantumkan gagasan ideal negara hukum, the rule of law. Hampir semua termaktub di dalamnya: supremasi hukum, asas legalitas, kemandirian hakim (peradilan), dan persamaan kedudukan warga dihadapan perundang-undangan.

Bila kita melakukan kilas balik, maka dapat dikatakan bahwa introduksi stelsel hukum baru demikian merupakan suatu Big-Bang, seolah-olah suatu ‘kontrak sosial’ yang sama sekali baru dibentuk, sekalipun sebenarnya hal itu diturunkan dari atas.

Betul bahwa di dalam mukadimah banyak undang-undang dasar sering rakyat seolah-olah dibiarkan menyuarakan pandangan mereka sendiri: ‘We, the people.’ Kendati demikian di dalam praktiknya tingkat partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang dasar demikian sangat kecil. Banyak undang-undang dasar baru (di negara-negara berkembang) karena itu terkesan tidak membumi dan agak menggantung di udara, simbol yang berkilau-kilau dan pantulan cahayanya hanya sekejap-kejap menyentuh bumi.

Dengan cepat mesin pembuat undang-undang (nasional) mulai bekerja. Lagipula Negara baik secara nasional maupun internasional dipandang sebagai motor pembangunan.58 Sebab itu penguasa merasa

perlu mengurus dan melibatkan diri dalam segala urusan. Akibatnya ialah perkembangan pesat bidang hukum administrasi.59 Dengan

56  Pada 1950-an dan 1960-an, sosialisme merupakan ideologi besar (payung) yang

diterapkan di lusinan negara-negara berkembang. Karena itu pula kita dapat berbicara tentang Sosialisme Arab atau Sosialisme Afrika. Selain itu, India di zaman pemerintahan Nehru dan Indonesia di bawah Soekarno kurang lebih juga memiliki kecenderungan sosialis.

57  Posisi ortodoks yang sangat kentara dipertahankan oleh Arab-Saudi yang tidak

menandatangani Universal Declaration of Human Rights dan yang tidak merasa butuh suatu konstitusi. Argumen yang diajukan sebagai alasan ialah bahwa Q’uran sudah mempostulasikan semua aturan yang dibutuhkan. Sebaliknya posisi sekuler yang tegas dipilih oleh Turki. Kebanyakan negara Islam mengambil posisi yang lebih moderat, di antara kedua ekstrim di atas.

58  Sebagaimana diamati juga oleh Esman (1991: 7-8) yang berbicara tentang ‘state-centered paradigm’.

59  Bidang-bidang hukum yang secara tradisional masuk ke dalam ranah hukum

keperdataan seperti misalnya hukum benda, perikatan dan dagang, di negara-negara baru merdeka ditundukkan pada intervensi pemerintah. Campur tangan pemerintah dalam bidang-bidang hukum tersebut muncul dalam bentuk perizinan, persetujuan,

sertifikasi tidak keberatan, dll. Nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan (modal

(19)

banyak cara kepemilikan privat dan kebebasan berkontrak dibatasi. Di banyak negara muncul perundang-undangan yang mengatur ikhwal redistribusi kepemilikan tanah, hubungan kekeluargaan (perkawinan) dan hukum waris, dan banyak hubungan kemasyarakatan lainnya.60 Allott, yang pada tahun 1980 menelaah-ulang proses pengembangan

hukum demikian kemudian mengkritik elite pembuat undang-undang dan menyebut mereka angkuh dan tidak sabaran. Setidak-tidaknya mereka sangat ambisius. Mereka hendak menggunakan hukum modern sebagai program untuk merombak dengan cepat dan radikal masyarakat tradisional yang merupakan mayoritas warga-negara.61

Di dalam kurun waktu yang sama, pada era 1960-an, mulai juga dikembangkan program-progam bantuan pembangunan.62 Apakah

negara-negara Barat tersebut juga memberikan dukungan dan bantuan bagi pengembangan stelsel hukum yang baru muncul tersebut? Perhatian terhadap hal itu ternyata justru memperburuk iklim politik dengan sangat cepat. Perlu kita ingat bahwa (ihwal pengembangan) hukum terutama di negara baru merdeka (berkembang) ternyata terkait erat dengan gagasan kedaulatan yang diperjuangkan dengan berat dan juga belum lama diperoleh. Sebab itu Eropa justru harus bersikap menahan diri. Situasinya berbeda dibandingkan dengan pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat. Sekelompok ilmuwan dan para konsultan hukum justru melihat pentingnya penguatan hukum dan pranata-pranata hukum dan tanpa canggung menyebut diri mereka sebagai gerakan Law and Development. Gerakan ini menyebar dan berkembang dengan cepat, kerap dengan sokongan dana bantuan dari Amerika.63

60  Hukum di negara berkembang dipandang sebagai warisan dari sistem kolonial. Pada awalnya, dekolonisasi politik hanya berdampak pada direformasinya hukum konstitusi (dibuatnya undang-undang dasar baru). Langkah berikut merupakan upaya untuk merombak seluruh sistem hukum yang ada. Karena di kebanyakan negara baru merdeka masyarakat kebanyakan masih tinggal di pedesaan, maka reformasi agraria

menjadi prioritas agenda pemerintah. Ke dalam kebijakan ini tercakup pembatasan

luas kepemilikan lahan, redistribusi kepemilikan tanah, terutama untuk kepentingan petani tanpa tanah, penguatan penguasaan atas tanah, peletakan landasan bagi pengembangan kemitraan di bidang usaha pertanian melalui pemberian kredit lunak atau pendampingan dalam pengelolaan usaha. Lihat lebih lanjut ulasan tentang ‘

Land-Reform’ dalam buku Tamanaha (1995: 141-143).

61  Di dalam bab berjudul ‘Law as a Programme’, Allott (1980: 175-179) menggambarkan

‘prinsip-prinsip berpengaruh’ (informing principles) mana yang berada di balik ihtiar reformasi hukum: unifikasi, modernisasi, sekularisasi, regresi, liberalisasi dan

modernisasi.

62  Lihat Nekkers, Malcontent & Baneke 1999.

(20)

Namun demikian, justru di Amerika sendiri pada pertengahan 1970 gerakan Law and Development mengalami kebangkrutan dan dimatikan. Tamanaha (1995a) merekonstruksi bagaimana hal ini terjadi sebagai akibat gerakan (tandingan) dari sekelompok ilmuwan yang merupakan bagian dari Critical Legal Studies.64 Menurut pandangan

mereka ekspor atau transplantasi hukum dari negara maju ke negara-negara berkembang adalah tindakan keliru. Lagipula, hukum harus cocok dengan masyarakat yang bersangkutan. Hukum di negara-negara barat dikembangkan beranjak dari penghormatan atas kebebasan individu (yang tidak serta merta identik dengan individualisme). Dengan perkataan lain, dilandaskan pada bagaimana relasi antara warga dengan negara, antara lembaga-lembaga negara, dan antara warga satu sama lain dipahami dan dikembangkan masyarakat barat. Pengandaian tersebut, menurut mereka, tidak berlaku bagi (masyarakat di-) negara-negara berkembang (dunia ketiga).65 Karena itu menurut

hemat mereka export hukum ke negara-negara berkembang adalah

kebijakan naif dan sangat ethnocentris. Lebih lagi menurut pandangan mereka rezim pemerintahan yang selama ini menikmati bantuan yuridis acap merupakan rezim yang cenderung otoriter-tiranikal.66Kritikan di atas sangat berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan. Keran uang

(bantuan luar negeri) ditutup dan gerakan Law and Development dengan cepat kehilangan sokongan dan kemudian bangkrut. Penghentian proyek-proyek bantuan demikian barang tentu sangat merugikan mitra, kelompok yuris yang mulai muncul di negara-negara berkembang. Mereka itu sedang sibuk membangun suatu sistem hukum dengan menggunakan landasan yang kemudian justru ditinggalkan oleh pihak-pihak lain. Dalam mengupayakan hal itu tentu masih banyak pertanyaan belum terjawab. Lebih lagi, di dalam negeri-pun mereka

64  Lihat Tamanaha (1995a) yang memberikan peran penting terhadap tulisan David Trubek & Marc Galanter yang dipublikasikan dalam Wisconsin Law Review pada 1974 dengan judul ‘Scholars in Self-Estrangement: Some Reflections on the Crisis in

Law-and-Development Studies in the United States’.

65  Dalam tulisan mereka, Trubek & Galanter, merumuskan tujuh asumsi berkenaan

dengan aktor serta proses dalam sistem hukum yang kiranya valid di negara maju seperti Amerika Serikat, namun tidak berlaku bagi negara-negara berkembang. Asumsi-asumsi tersebut mereka namakan ‘legal liberalism’.

66  Para ahli-ahli ilmu sosial di negara-negara Barat pada era 1970-an dan 1980-an

(21)

masih harus berhadapan dengan arus balik(counter-forces)67 yang justru

menghambat upaya pengembangan kepastian hukum nyata. Bentuk-bentuk arus balik apa saja yang harus mereka hadapi?

4.   Arus balik yang menciptakan kendala bagi (pencapaian) kepastian

hukum nyata dan kemandekan (impasse)

Seorang advokat hak asasi manusia di Liberia pernah menyampaikan pada saya bahwa semua klien yang datang padanya sebenarnya menghadapi dua lawan utama: tradisi dan politik.68 Pemikiran ini,

bahwa dua arus balik tersebutlah yang merupakan kendala utama yang menghalangi pengembangan sistem hukum otonom, dapat kita

temukan kembali dalam teori klasifikasi dari Mattei.69 Ia membedakan

tiga kelompok sistem hukum nasional:

1. sistem hukum yang didominasi oleh tradisi yang bersifat religius ataupun lainnya;

2. sistem hukum yang didominasi oleh intervensi (campurtangan) politik;

3. sistem hukum otonom yang dikuasai dan dijalankan oleh

yuris-yuris profesional.

Sistem hukum di negara-negara barat masuk ke dalam kelompok 3. Negara-negara berkembang ke dalam kelompok 1 atau 2.70 Untuk

menembus dan digolongkan ke dalam kelompok 3 harus dilakukan sejumlah dobrakan untuk lepas dari kungkungan tradisi dan politik.71

Namun, seperti telah dikatakan keduanya merupakan arus balik dengan kekuatan menghambat yang sangat besar.

Saya melanjutkan kilas balik ini dengan menguraikan secara umum empat arus balik utama yang selama setengah abad ke belakang

67  Lihat Dias et al. (eds.) (1981) tentang pekerjaan yang mengecewakan yang dilakukan

para ahli hukum di negara-negara dunia ketiga selama 1960-an dan 1970-an.

68  Samuel Woods, LL.M. mahasiswa Leiden, Maret 2000.

69  Mattei (1997) menolak klasifikasi yang dikenal umum yang dikembangkan oleh David maupun Zweigert & Kötz. Ia menyatakan bahwa klasifikasi tersebut tidak cocok bagi

banyak negara di dunia, khususnya negara-negara berkembang.

70  Mattei (1997) mengajukan sejumlah usulan di dalam tulisannya untuk mengklasifikasikan negara-negara berkembang ke dalam kelompok 1 atau 2. Namun sampai sekarang ia belum membuat kriteria yang dapat digunakan untuk melakukan penggolongan tersebut tanpa menimbulkan kesan bahwa penggolongan itu dilakukan seolah-olah secara acak.

(22)

menghalangi kemunculan sistem hukum otonom di negara-negara berkembang.

Pertama ialah tradisi. Kehidupan tradisional bereaksi terhadap banyak dari pembaharuan yang hendak dicapai melalui perundang-undangan yang dibuat oleh kelompok elite baru baik dengan melakukan perlawanan aktif maupun protes diam-diam.72 Kebanyakan reformasi di

bidang agraria atau pertanahan menghadapi kegagalan.73 Selanjutnya

juga tampak adanya kesulitan untuk melakukan perombakan melalui perundang-undangan di bidang hukum keluarga, khususnya bilamana menyangkut persoalan-persoalan peka seperti poligami, talak-cerai, putus hubungan keluarga (verstoting), hak waris bagi perempuan, dan hak perwalian (asuh) bagi para ibu.74 Arus balik demikian dapat kita

temukan mengakar baik pada agama/kepercayaan maupun adat dan kebiasaan.

Di puluhan negara berkembang, dari arus balik yang bersumberkan agama, dapat dikatakan bahwa Islam dalam penafsirannya yang ortodoks memunculkan kekuatan perlawanan yang serius.75 Bahkan

di beberapa negara kita temukan dimaktubkannya di dalam undang-undang dasar ataupun perundang-undang-undang-undangan ketentuan yang menegas-kan bahwa aturan kehidupan islamiyah atau shari’a merupamenegas-kan sumber dari segala hukum.76 Dengan cara demikian, pemerintahan negara

bersangkutan memperoleh legitimitas dihadapan masyarakat penganut agama tersebut, namun ketentuan-ketentuan seperti di atas sekaligus merupakan kuda troya, karena juga akan sekaligus menggerus

72  Lihat Allott (1980: 196-202) tentang ‘resistance to transformation’ (keenganan atau perlawanan terhadap trasformasi).

73  Ilustrasi yang sangat dikenal dari hal tersebut adalah India dan Indonesia. Untuk ulasan lihat Powelson & Stock (1990).

74  Kelompok elite di negara-negara berkembang menyadari bahwa reformasi dalam bidang-bidang tersebut ternyata secara politis sangat sensitif, bahkan dapat mengancam stabilitas sosial. Lagipula, mereka sering bergantung sebagian pada dukungan yang diberikan pimpinan masyarakat keagamaan atau ketua-ketua adat (pimpinan masyarakat) tradisional. Padahal justru mereka itu yang akan teralienasi

dengan dijalankannya reformasi radikal tersebut.

75  Sistem normatif dari Islam (hukum Islam atau sharia), seperti halnya sistem hukum nasional, berangkat dari asumsi bahwa mereka berada di atas sistem norma lainnya.

Apabila kita bersikukuh mempertahankan gagasan fundamental ini, maka konflik

antarsistem norma tidak akan terhindarkan. Untuk penjelasan yang mencerahkan tentang penafsiran sharia dari pendekatan ortodoks versus pendekatan modern serta dampaknya terhadap hukum, lihat Al-Nowaihi (1997).

76  Lihat, antara lain, ketentuan Pasal 2 dari Konstitusi Mesir 1980, Pasal 4 Konstitusi

(23)

supremasi sistem hukum yang bersangkutan.77

Kedudukan aturan-aturan kebiasaan yang mengakar dalam, acap juga dinamakan hukum kebiasaan, tampaknya di kebanyakan negara-negara berkembang, khususnya di Afrika, terjalin erat dengan peran pemimpin lokal atau pimpinan adat. Sering merekalah yang menguasai dan mengelola kehidupan politik regional. Bahkan juga bila perundang-undangan mencoba mencabut (atau membatasi) pengaruh mereka dengan menciptakan kelembagaan negara baru, tidak jarang mereka tetap enggan melepas fungsi tradisional yang menguntungkan yang mereka emban di bidang penyelesaian sengketa maupun alokasi kepemilikan tanah.78 ‘Hukum Barat tidak cocok untuk diberlakukan di

sini’ begitu kilah mereka tatkala berhadapan dengan politisi negara yang mencoba mengupayakan modernisasi. Mereka juga menambahkan: ‘masyarakat lagipula tidak butuh hukum modern tersebut, kami punya hukum sendiri yang berbeda’. Pandangan yang tidak teramat salah bila kita lihat kenyataan di kebanyakan negara berkembang pada era 60-an dan 70-an.

Kiranya cukup uraian tentang tradisi – agama/kepercayaan dan kebiasaan – sebagai arus balik pertama. Arus balik kedua ialah politik. Dengan cepat tampak bahwa banyak rezim pemerintahan baru hampir-hampir tidak berhasil menjaga stabilitas negara mereka sendiri.79

Mereka dihadapkan pada rangkaian kudeta dan gerakan-gerakan separatis. Di samping itu, kemajuan sosial-ekonomi, nation-building

juga menjadi tujuan pokok, dengan militer yang diperankan sebagai penjaga (stabilitas).80 Dengan begitu, kerap tujuan dari demokrasi

dan kepastian hukum dikorbankan, sering atas nama ideologi pembangunan yang dianut. Banyak pimpinan negara ketiga berpikir sejalan dengan Soekarno bahwa dengan para yuris revolusi tidak dapat dilangsungkan.81 Juga di dalam (pengembangan) hukum kita acap temukan semangat unifikasi yang agak obsesif dan terjadi penindasan

terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Sedangkan berkenaan dengan kegiatan yang dinamakan pemilih-an umum, ‘demokrasi sentralisme’ model Uni Soviet sering dijadikan

77  Dengan demikian, ketentuan dalam konstitusi ini memunculkan banyak perdebatan

panjang dan sengit baik di parlemen maupun di ruang-ruang pengadilan. Perdebatan mana mengguncang sistem bangunan hukum sampai akar-akarnya.

78  Untuk ilustrasi yang secara umum mencerminkan hal ini lihat Lund & Hesseling

(1990) tentang Nigeria. Juga Van Rouveroy van Nieuwaal (1995) untuk mendapatkan gambaran umum dan publikasi di tahun 2000 khususnya tentang Togo.

(24)

acuan.82 Stelsel satu partai (partai tunggal) berhasil mereduksi banyak

instansi pembuat undang-undang menjadi sekadar mesin tepuk tangan, yang dengan mudah dan cepat memberi stempel persetujuan parlementer pada setiap rancangan perundang-undangan buatan pemerintah.83

Kemandirian hakim diterobos oleh politisi dibanyak negara dengan pelbagai cara.84 Misalnya, dengan membatasi kewenangan peradilan

melalui ketentuan perundang-undangan, melalui memanipulasi

kebijakan pengangkatan, penempatan dan mutasi hakim, melalui

intimidasi, dan juga dengan cara secara tegas menolak pelaksanaan eksekusi putusan-putusan pengadilan.85 Bahkan pada 1969, Presiden

Nasser dari Mesir dengan satu tarikan pena memecat semua hakim.86

Di banyak negara advokat dan jurnalis yang mengkritik rezim pemerintahan demikian kerap harus mengalami pencabutan lisensi. Barangsiapa mencari keadilan dan perlindungan hukum di dalam sistem hukum demikian menghadapi ancaman tuduhan subversi. Di banyak negara pula keberhasilan institusi pendidikan dan penelitian hukum diukur sekadar dari loyalitas politik mereka pada rezim yang berkuasa.87 Kesemua ini mengakibatkan rendahnya tingkat kepastian

hukum nyata. Hanya sejumput individu, seperti advokat hak asasi manusia Buyung Nasution, di Jakarta, memiliki keberanian berdiri teguh.88 Di barat kemudian muncul gerakan-gerakan hak asasi yang

bertujuan mendukung perjuangan perseorangan tersebut. Akan tetapi

82 Alderfer (1964) menyatakan bahwa pemerintahan negara-negara berkembang umumnya memiliki peluang untuk memilih di antara empat model desentralisasi: model Prancis; Inggris; Uni Soviet; atau model yang lebih tradisional. Sistem politik nasional kerap dirancang mengikuti struktur dan proses pemerintahan Eropa Timur. Dalam sistem demokrasi terpusat (democratic centralism) demi menjaga kesatuan dan persatuan, calon pimpinan diseleksi dari dan dipilih oleh kader-kader partai. Dalam praktiknya, sering hanya tersedia satu calon untuk dipilih dan diangkat.

83  Lihat Heady 1996: 294-308; Boynton & Kim (eds.) 1975: 15-28. 84  Lihat Tiruchelvam & Coomaraswamy (eds.) 1987.

85  Untuk ulasan sistematis dari metode-metode tersebut, lihat Wambali & Peter (1987).

Ghai (1993) dalam konteks Afrika berbicara tentang ‘patrimonialism’ dari hukum, hal mana dicapai dengan mensubordinasikan hukum (negara) pada kendali atau kekuasaan patrimonial yang otokratik.

86  Peristiwa ini dalam sejarah hukum di Mesir dikenang sebagai ‘the massacre of judges’ (pembantaian para hakim) (Roy & Irelan 1989: 169).

87  Tidak banyak ulasan sekaligus dipublikasikan di dalam pustaka internasional perihal

pendidikan hukum di negara-negara berkembang. Kendati begitu kita dapat temukan laporan umum kinerja per negara. Satu ilustrasi menarik bagaimana studi hukum terpolitisasi dalam kurun waktu itu adalah tulisan dari Wignjosoebroto (1992) tentang pendidikan hukum di Indonesia.

88  Lihat Lev (2000) tentang peran Nasution dalam perancangan program bantuan dan

(25)

elite politik di negara-negara berkembang mengembangkan kecurigaan dalam terhadap kepedulian dan campurtangan pihak ketiga pada politik dan hukum mereka.

Di samping dua arus balik yang sudah kita bahas di atas, tradisi dan politik, kita dapat ajukan dua arus balik lainnya: ekonomi dan pemerintahan. Banyak penyelundupan hukum di negara-negara berkembang terkait erat dengan masalah kemiskinan serta semangat mengejar kekayaan dengan cepat. Tiga macam strategi tindakan ekonomis, dari warga maupun perusahaan, menggerus fundamen kepastian hukum. Pertama-tama tentunya ‘kriminalitas biasa’ yang di banyak negara berkembang – terpikirkan di sini negara-negara narkotika di Amerika Latin – yang menghancurkan sistem hukum.

Kemudian ada elite ekonomi yang enggan melepaskan kekayaan yang sudah mereka miliki atau dengan menghalalkan segala cara ingin meningkatkan jumlah kekayaan mereka.89

Namun bukan hanya mereka yang kaya dan berkelimpahan yang dengan tindakan-tindakan ilegal menimbulkan masalah-masalah sosial. Masalah lebih rumit dari segi yuridis maupun pemerintahan bersumber dari kecenderungan mayoritas penduduk miskin untuk dalam skala besar karena alasan-alasan ekonomi melanggar peraturan perundang-undangan yang sedianya berlaku terhadap dan mengikat mereka semua. Kita sekarang mengenal dan menilai positif dinamika sektor informal berkat hasil penelitian De Soto terhadap ekonomi perkotaan di negara-negara berkembang.90 Biaya yang harus dibayar

untuk kepentingan registrasi resmi dan legalisasi dari kegiatan usaha (ekonomi) ternyata bagi banyak orang menjadi terlalu mahal dan tidak dapat ditanggungkan. Sehingga sektor informal dari sudut pandang kepentingan ekonomi merasa lebih baik tetap informal. Lagipula hal ini lebih cocok dengan relasi ‘tolong-menolong’ dalam kehidupan sehari-hari, serta dengan jaringan dan sistem patronage yang telah ada.

Informal berarti tidak terdaftar (teregistrasi), dan kerap juga illegal.

Lebih dari setengah dari total penduduk perkotaan di negara-negara ketiga hidup sebagai ‘squatter’ di daerah kumuh, tanpa kepemilikan tanah, tanpa izin bangunan, dan sebab itu juga tanpa fasilitas-fasilitas yang terkait dengan sistem perizinan tersebut.91 Bahkan juga ke dalam

89  Satu ilustrasi terbaik dari hal ini ialah kelompok elite dari penguasa tanah skala besar yang di banyak negara, seperti India, menghindari pemberlakuan peraturan perundang-undangan tentang reformasi agraria terhadap mereka, dengan cara meregistrasi tanah-tanah mereka atas nama anggota keluarga atau kerabat bahkan pembantu.

90  Lihat De Soto 1989.

(26)

kelompok penambang liar, pendudukan tanah negara dan pencurian kayu kita temukan banyak petani-gurem tak bertanah dan orang miskin dari perkotaan yang berjuang mencari penghasilan penyambung nyawa. Strategi tindakan usaha ekonomi illegal demikian secara masal ditenggang karena persoalan ini dari sudut pandang politik dinilai sangat eksplosif (ancaman terhadap stabilitas politik), penjabat pemerintahan kerap justru menarik keuntungan darinya, dan secara yuridis juga sulit untuk dicari jalan keluarnya.

Ditenggangnya situasi demikian dalam skala besar sangat merugikan upaya penciptaan kepastian hukum nyata, antara lain, dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup dan tata guna tanah. Kebakaran hutan skala besar pelbagai pulau di Indonesia dan kerusakan cadangan air tanah di Asia-Selatan merupakan ilustrasi baik dari buruknya permasalahan ini.92

Arus balik ke-empat, sangat mencengangkan, justru timbul dari aparat penguasa sendiri, yang bersama-sama dengan masyarakat darimana mereka berasal justru melakukan pembangkangan. Rata-rata aparatur pemerintah di negara-negara berkembang dikenal tidak cukup diperlengkapi dengan dukungan sarana atau prasarana, tidak terorganisir secara baik dan tidak memiliki disiplin yang memadai.93

Ada banyak titik lemah: personalia, uang, instrumen (sarana dan prasarana), motivasi, keterbukaan, kepemimpinan, koordinasi, kontrol. Sebagai efek ikutan dari perkembangan hukum administrasi yang begitu luas perilaku korupsi juga turut berkembang dan meluas.94

Struktur organisasi dan jumlah aparatur penguasa terus berkembang dan selanjutnya sebagai dampak melakukan penetrasi semakin jauh ke dalam kehidupan masyarakat, namun sekaligus kerap tidak efektif. Kesemua ini tidak saja dapat dikatakan tentang pemerintahan pusat melainkan juga berlaku bagi pemerintahan regional dan lokal. Berlaku tidak saja bagi penguasa pemegang kekuasaan eksekutif tetapi juga bagi kekuasaan legislatif dan kekuasaan peradilan. Sistem hukum yang selalu terbangun dari ragam institusi ternyata hanyalah sekuat rantai

di Karachi dan melaporkan hasil temuannya dalam banyak publikasi, misalnya dalam Sultan & Van der Linden (1991) dan Van der Linden (1995).

92  Lihat Moench (ed.) (1995), khususnya bab tentang India dan Cina, dan Van Steenbergen (1997) tentang Pakistan.

93  Lihat Klitgaard 1996: 487-489; Grindle 1997: 3; Heady 1996: 317-321; World Bank 1997: 23, 79. 94  Lihat Heady 1996: 320; Klitgaard 1988; Riggs 1964; dan Scott 1972; telah memberikan

References

Related documents

21,850 -0.3% 98 FedEx Corporation 228,866 -0.2% 99 Grainger 15,173 4.3% 100 CH2M HILL 13,748 4.7% About CNNMoney Contact Us Advertise with Us User Preferences Career

Our analysis of the frontal theta activity indeed showed that observation of the Robot resulted in a significantly stronger increase in the power of theta oscillations (4–8 Hz)

Today, we also employ shock waves with great success in the treatment of musculoskeletal disorders and pseud- arthrosis (extracorporeal shock wave therapy, ESWT), for the stimula-

It can be said that the Chinese city, through the imitation and practice of the Western planning system and technology at the stage of the late Qing Dynasty and the early Republic

Dropbox employs technical access controls and internal policies to prohibit employees from arbitrarily accessing user files and to restrict access to metadata and other

This conceptual paper describes the important role of motivation in organizations and the Self-Determination Theory that is an approach to human motivation and personality based

Jason from Texas loses over 150 lbs with the lap band from True Results, find out more about weight loss surgery and the lapÂ

Services provided: Case Management, Community Living Supports, Companion, Respite, Supported Employment, Behavior Programming, Occupational Therapy, Speech, Physical